Latest News

Tuesday 6 March 2018

Peranan Kitab Suci Dalam Kehidupan Menggereja (1)


Salah satu prestasi besar Konsili Vatikan II adalah pembaharuan minat dalam Kitab Suci atau Alkitab di antara orang-orang Katolik. Pembaharuan ini cukup dramatis apabila kita membandingkan praktek kekatolikan umat pada tahun 1950 an dan situasi masa kini, di dunia pada umumnya dan di Indonesia khususnya.
Pada pertengahan abad ke-20 Kitab Suci  berbahasa Latin-lah yang dibacakan dalam Misa Kudus. Pada masa itu terdapat sedikit bacaan yang dipilih dari Perjanjian Lama, dan ada sejumlah kecil bacaan yang diambil dari Perjanjian Baru yang mendominir lingkaran satu tahun. Dalam menanggapi Konsili Vatikan II, kita sekarang mempunyai sebuah lingkaran tiga tahunan perihal pembacaan pada Misa hari Minggu dan sebuah lingkaran dua tahunan perihal pembacaan pada Misa harian. Bacaan-bacaan Perjanjian Lama menjadi menonjol dan hampir keseluruhan Perjanjian Baru (Injil dan surat-surat/epistola serta Kitab Wahyu) mendapat kesempatan untuk dibacakan. Teks yang dibacakan juga dalam bahasa setempat yang dominan.

Di banyak tempat, perkembangan mencolok tampak dalam kurikulum sekolah-sekolah Katolik dan juga seminari-seminari, yaitu tempat menggodok para calon imam. Memang sejak Konsili Vatikan II secara bertahap Alkitab tidak hanya mengemuka dalam liturgi Katolik, pendidikan Katolik, tetapi juga dalam devosi dan praktek kesalehan populer Katolik. Kelompok-kelompok doa Karismatik dan komunitas-komunitas basis menemukan sumber kekuatan spiritual mereka dalam refleksi serta doa alkitabiah. Timbullah kesadaran dalam diri banyak umat, bahwa misalnya doa rosario yang tradisional dan kuno itu sesungguhnya sangat alkitabiah, demikian pula dengan bahasa yang digunakan dalam doa-doa Katolik.

Sejak Konsili Vatikan II, Kitab Suci juga memainkan peranan yang penting dalam gerakan ekumene, kendati perbedaan-perbedaan historis dan teologis antara gereja-gereja Kristiani masih tetap ada. Kemajuan utama adalah bahwa pelbagai gereja yang berbeda-beda itu telah memusatkan perhatian mereka pada Alkitab sebagai warisan bersama dan mereka pun telah mengkaji-ulang perbedaan-perbedaan yang ada di antara mereka dalam terang bahasa dan pola-pola pemikiran Alkitab . Apabila ini telah terjadi, maka biasanya hasilnya adalah pengakuan bahwa yang menyatukan gereja-gereja Kristiani itu lebih penting dan lebih fundamental daripada  hal-hal yang memisahkan mereka. Berbagai bentuk pendalaman Kitab Suci juga sangat membantu pemahaman bersama dan tumbuhnya semangat saling menghormati.

Teologi Katolik sejak Konsili Vatikan II jauh lebih memberi perhatian pada sumber-sumber alkitabiah; bahasa yang digunakannya pun lebih alkitabiah ketimbang bahasa filsafat. Dokumen-dokumen resmi Gereja yang berkaitan dengan masalah teologis atau persoalan-persoalan aktual pun hampir selalu berangkat dari Kitab Suci dan mendasarkan argumen-argumen mereka atas teks-teks alkitabiah. Misalnya, seorang pakar Kitab Suci terkenal – Joseph A. Fitzmyer SJ – menulis sebuah buku dengan judul yang menekankan pentingnya Kitab Suci dalam teologi: Scripture, the Soul of Theology (Kitab Suci, jiwa Teologi). Malah  salah satu bab buku itu diberi judul: Scripture, the Source of Theology (Kitab Suci,  sumber Teologi).[1] Judul-judul seperti ini rasanya tidak mungkin ada sebelum diselenggarakannya Konsili Vatikan II, misalnya di tahun 1950 an. Sesungguhnya, dapatlah dikatakan bahwa Gereja Katolik sekarang jauh lebih alkitabiah daripada di tahun 1950 an.

Studi Alkitab dalam Sejarah[2]

Agar dapat lebih memahami tempat Alkitab dalam pemikiran Katolik dewasa ini, maka perlulah kita melihat bagaimana orang-orang Kristiani di berbagai tempat pada masa lalu berpikir mengenai Alkitab. Dengan adanya penelitian Alkitab secara ilmiah, bukan berarti pendekatan-pendekatan sebelumnya menjadi tak berguna. Prinsip penafsiran ilmiah-modern tidak menggantikan pendekatan-pendekatan terdahulu. Sebuah sejarah singkat perihal tafsir alkitabiah akan mengungkapkan wawasan-wawasan penting yang masih berlaku sampai kini.
Perjanjian Lama adalah Alkitab bagi Yesus dan orang-orang Kristiani perdana. Menurut kitab-kitab Injil, Yesus seringkali mengutip atau merujuk pada teks-teks Perjanjian Lama untuk membuat suatu pengertian teologis, atau untuk menyarankan suatu cara bertindak. Dengan jelas kita dapat membaca bahwa Yesus menghargai teks-teks Perjanjian Lama ini sebagai sesuatu yang sampai derajat tertentu mempunyai kewenangan. Dalam Perjanjian Baru Yesus tampil sebagai seseorang yang menunjukkan sikap yang fleksibel terhadap Perjanjian Lama, bahkan memiliki kewenangan di atasnya.Yesus membedakan apa yang berasal dari Allah dan apa yang berasal dari Musa (lihat Mrk 10:1-12), Dia malah mengkritisi beberapa ajaran Perjanjian Lama dan kemudian mengajarkan pokok-pokok yang melampaui ajaran-ajaran Perjanjian Lama itu (lihat Mat 5:21-48) dan Dia pun menempatkan kasih kepada Allah dan sesama (Mrk 12:28-31) pada peringkat yang lebih tinggi daripada ketaatan-ketat pelaksanaan hari Sabat.
Penulis-penulis Perjanjian Baru seperti Paulus dan Matius melihat Perjanjian Lama digenapi dalam Yesus Kristus. Mereka mendasarkan diri pada pemahaman luas orang-orang Kristiani perdana. Dengan demikian mereka menafsirkan Kitab Suci dalam terang kehidupan, kematian dan kebangkitan Yesus. Seperti juga orang-orang Yahudi sezaman, mereka memahami Kitab Suci sebagai suatu misteri , artinya sesuatu yang tak dapat dipahami tanpa bimbingan dan penjelasan.[3] Orang-orang Kristiani perdana menemukan Yesus sebagai Kunci yang membuka misteri Kitab Suci Ibrani.
Pada zaman para Bapak Gereja (periode patristik) Alkitab sudah memuat baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Para Bapak Gereja atau para teolog awal, pada umumnya menggunakan salah satu dari dua pendekatan terhadap Kitab Suci, yaitu metode alegoris   dan metode literal .
Metode alegoris (salah satu metode untuk mencari makna/arti spiritual) secara khusus disenangi oleh para teolog yang tinggal di Alexandria, Mesir (Sekolah/Mazhab Kateketik – Didascaleion). Cara pendekatan ini menekankan usaha membongkar kebenaran-kebenaran spiritual yang berada di bawah permukaan cerita-cerita alkitabiah. Metode ini telah dikembangkan oleh para pemikir Yunani yang menafsirkan cerita-cerita dalam Iliad dan Odysey dari Homer sebagai simbolisasi pergumulan-pergumulan emosional dan spiritual dalam diri individu-individu. Metode ini juga telah digunakan oleh para juru tafsir Yahudi seperti Philo dari Alexandria (+ c.50), yang menggunakan metode ini atas Kitab Suci Ibrani agar supaya menarik bagi orang-orang Yunani dan orang-orang Yahudi yang telah dipengaruhi dan hidup dalam budaya Yunani. Para teolog Kristiani yang menggunakan metode ini termasuk Origenes (+ c.254) dan Klemen dari Alexandria (+ c.215).
Metode yang satunya lagi adalah membaca Alkitab dengan memperhatikan segi literalnya. Metode ini disenangi oleh para pemikir Kristiani yang tinggal di Antiokia, ibukota Siria pada zaman kekaisaran Roma. Pendekatan literer atau literal lebih memusatkan perhatian pada realitas-realitas sejarah yang dipaparkan dalam Kitab Suci. Metode ini mengajarkan bahwa pengertian yang lebih tinggi atau lebih dalam harus secara kokoh didasarkan pada pengertian literal   teks bersangkutan. Yohanes Krisostomos (+ 407) dan Theodorus dari Mopsuestia (+ 428) adalah contoh-contoh dari mereka yang menggunakan pendekatan ini.
Pentinglah untuk diakui bahwa penekanan-penekanan yang berbeda bukanlah berarti sepenuhnya bertentangan satu sama lain. Dengan demikian, metode alegoris tidak selalu menyangkal kebenaran historis dari peristiwa-peristiwa dalam Kitab Suci, dan metode literal tidak menyangkal makna spiritual dari peristiwa-peristiwa itu. Para teolog yang kemudian, cenderung untuk mencampur kedua pendekatan tersebut, meskipun lebih menyenangi salah satu kecondongan ketimbang yang lain. Augustinus (+ 430) misalnya cenderung untuk menggunakan metode alegoris, sedangkan Hieronimus (+ 420) cenderung menggunakan metode literal .
Menurut Katekismus Gereja Katolik (KGK), sesuai dengan tradisi tua, arti Kitab Suci itu bersifat ganda; yaitu arti harfiah (arti literal; Latin: sensus literalis; Inggris:literal sense) dan arti rohani (arti spiritual; Latin: sensus spiritualis; Inggris: spiritual sense).[4] Arti rohani ini dapat bersifat alegoris, moralis atau anagogis. Kesamaan yang mendalam dari keempat arti ini menjamin kekayaan besar bagi pembacaan Kitab Suci yang hidup di dalam Gereja (lihat KGK 115). Keempat arti tersebut adalah sebagai berikut:
Arti hurufiah atau harfiah (literal sense – what took place): arti yang dicantumkan oleh kata-kata Kitab Suci dan ditemukan oleh eksegese, yang berpegang pada peraturan penafsiran teks secara tepat. Dalam Summa theologiae, Thomas Aquinas (+ 1274) mengatakan: “Tiap arti [Kitab Suci] berakar di dalam arti hurufiah” (“All other senses of Sacred Scripture are based on the literal”). [lihat KGK 116]
Arti alegoris (allegorical sense – the hidden theological meaning): Kita dapat memperoleh satu pengertian yang lebih dalam mengenai kejadian-kejadian, apabila kita mengetahui arti yang diperoleh peristiwa itu dalam Kristus. Umpamanya penyeberangan Laut Merah adalah tanda kemenangan Kristus dan dengan demikian tanda Pembaptisan (bdk. 1Kor 10:2). [lihat KGK 117.1]
Arti moral (moral or tropological sense – the significance for the individual s behavior): Kejadian-kejadian yang dibicarakan dalam Kitab Suci harus mengajak kita untuk melakukan yang baik. Hal-hal itu ditulis sebagai “contoh bagi kita ….. sebagai peringatan” (1Kor 10:11; bdk. Ibr 3:1 – 4:11). [lihat KGK 117.2]
Arti anagogis (anagogical sense – the heavenly sense): Kita dapat melihat kenyataan dan kejadian dalam artinya yang  abadi, yang menghantar kita ke atas, ke tanah air abadi (Yunani: anagoge). Misalnya, Gereja di bumi ini adalah lambang Yerusalem surgawi (bdk. Why 21:1 – 22:5). [lihat KGK 117.3]
Para teolog Abad Pertengahan menyimpulkan keempat arti itu sebagai berikut:

“Littera gesta docet, quid credas allegoria
Moralis quid agas, quo tendas anagogia.”

“The Letter speaks of deeds; Allegory to faith;
The Moral how to act; Anagogy our destiny.”

“Huruf mengajarkan kejadian; apa yang harus kau percaya, alegori;
moral, apa yang harus kau lakukan; ke mana kau harus berjalan, anagogi.” (lihat KGK 118)

Sebagai contoh, baiklah kita melihat Gal 4:22-31. Dalam perikop ini, Yerusalem dapat diartikan sebagai sebuah kota di Palestina (arti hurufiah/literal), Gereja (arti alegoris), rumah surgawi kita semua (arti anagogis), dan jiwa manusia (arti moral). Dengan demikian cara pendekatan terhadap Kitab Suci yang beranega-ragam dapat dengan mudah merosot menjadi subjektivitas. Oleh karenanya Thomas Aquinas bersikukuh bahwa arti spiritual tidak perlu bagi iman kalau arti literalnya tidak dikemukakan di bagian lain dalam Kitab Suci. Thomas Aquinas juga menggunakan akal-budi manusiawi sebagai sebuah alat dalam menjelaskan Kitab Suci. Dia mencoba untuk mengawinkan kebenaran filsafat dengan kebenaran alkitabiah.

Dengan datangnya Renaissance dan munculnya humanisme, maka muncul pulalah sebuah minat baru untuk mempelajari Kitab Suci dalam bahasa-bahasa aslinya dan setting sejarahnya. Erasmus mengeluarkan sebuah edisi baru Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani, untuk digunakan bersama dengan Vulgata (dalam bahasa Latin). Dia juga menggunakan tulisan-tulisan klasik non-Kristiani, baik Yunani maupun Romawi, bersama-sama dengan tulisan-tulisan para Bapak Gereja guna menafsirkan teks-teks alkitabiah. Akan tetapi kemudian  kegairahan usaha pendalaman Kitab Suci orang Katolik menurun, sebagai reaksi terhadap klaim atas Alkitab yang dibuat oleh Martin Luther dan para reformator Protestan lainnya, teristiwa pernyataan-pernyataan mereka tentang kejelasan (clarity) Kitab Suci (sehingga tak diperlukan lagi Gereja sebagai penafsir akhir) dan kecukupannya (sufficiency) sehingga tak diperlukan lagi tradisi Gereja. Klaim para rasionalis masa Aufklärung membuat masalahnya menjadi lebih rumit bagi para penafsir Alkitab Katolik. Misalnya Baruch Spinoza dapat mengatakan bahwa apabila Kitab Suci berkonflik dengan filsafat (misalnya dalam hal mujizat), maka Kitab Suci harus ditolak. Beginilah nasib Gereja Katolik yang harus memainkan perannya sebagai pembela kebenaran alkitabiah.

Namun demikian, sepanjang masa ada prinsip-prinsip Katolik perihal penafsiran Kitab Suci yang tak kunjung hilang:
Arti sentral dari Kristus.
Perjuangan untuk tetap setia pada arti literal, sementara pada saat yang sama mencari arti spiritual.
Keyakinan bahwa iman dan akal budi tidak bertentangan satu sama lain.
Pandangan teguh bahwa Alkitab harus ditafsirkan di dalam Gereja.
Penekanan atas kebenaran alkitabiah dalam menghadapi serangan-serangan dari rasionalisme.[5]

Digunakan sebagai bahan kuliah di KPKS Santo Paulus, mata kuliah “Dasar-dasar Kerasulan Kitab Suci”.
1.        Joseph A. Fitzmyer SJ, Scripture, the Soul of Theology, MakatiPhilippines: ST PAULS, 1995.
2.        Uraian tentang studi Alkitab dalam sejarah ini mengandalkan tulisan Daniel J. Harrington SJ, The Bible in Catholic Life, dalam THE CATHOLIC STUDY BIBLE, hal. RG 17-18. Juga tulisan Dom D. Rees OSB, The Bible in the Life of the Church- Part II: An Historical Survey, dalam Reginald C. Fuller (General Editor), A New Catholic Commentary on Holy Scripture.
3.        Bacalah tulisan saya yang berjudul Memahami Firman Allah dalam Kitab Suci (1), tanggal 2 September 2009.
4.        Lihat juga Raymond E. Brown SS & Sandra M. Schneiders IHM, HERMENEUTICS, dalam Raymond E. Brown SS, Joseph A. Fitzmyer SJ & Roland E. Murphy O.Carm. (Editors), The New Jerome Biblical Commentary, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, 1990, hal. 1148.
5.        Daniel J. Harrington, hal. RG 18.





                 Joseph A. Fitzmyer SJ, Scripture, the Soul of Theology, MakatiPhilippines: ST PAULS, 1995.
[2]    Uraian tentang studi Alkitab dalam sejarah ini mengandalkan tulisan Daniel J. Harrington SJ, The Bible in Catholic Life, dalam THE CATHOLIC STUDY BIBLE, hal. RG 17-18. Juga tulisan Dom D. Rees OSB, The Bible in the Life of the Church- Part II: An Historical Survey, dalam Reginald C. Fuller (General Editor), A New Catholic Commentary on Holy Scripture.
                 Bacalah tulisan saya yang berjudul Memahami Firman Allah dalam Kitab Suci (1), tanggal 2 September 2009.
                 Lihat juga Raymond E. Brown SS & Sandra M. Schneiders IHM, HERMENEUTICS, dalam Raymond E. Brown SS, Joseph A. Fitzmyer SJ & Roland E. Murphy O.Carm. (Editors), The New Jerome Biblical Commentary, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, 1990, hal. 1148.
                 Daniel J. Harrington, hal. RG 18.


F.X. Indrapradja, OFS

http://www.karismatikkatolik.org/archived/detailArticle6d0f.html?id=3&id2=10&id3=233