MEMBACA KITAB SUCI
Sebagai aktivis Kerasulan Alkitabiah atau Pelayan Sabda, kita sudah akrab dengan pesan Dokumen Konsili ”Dei Verbum” #26: ”Semua klerisi terutama imam-imam Kristus dan semua orang lain yang sebagai diakon atau katekis secara sah melayani sabda, perlu berpegang pada Kitab Suci melalui bacaan suci yang tekun dan melalui studi yang cermat, agar tidak seorangpun dari mereka menjadi pewarta lahiriah sabda Allah yang sia-sia, yang tidak menjadi pendengar batin (S. Agustinus)”,
Sejak ”Dei Verbum” diluncurkan lebih dari 40 tahun yang lalu, Kerasulan Alkitabiah berkembang pesat. Banyak Alkitab diterbitkan dengan harga yang terjangkau dan dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh umat; di setiap Keuskupan dibentuk Komisi Kerasulan Kitab Suci dan di setiap Paroki ada Seksi Kitab Suci. Kelompok Kitab Suci dibentuk di mana-mana. Umat sungguh haus akan Sabda Tuhan.
Selain tanda-tanda kegembiraan, ada juga keprihatinan-keprihatinan: Sebagian umat kita masih ”buta Kitab Suci” karena tidak memilikinya atau tidak tahu cara membuka atau membacanya. Tidak sedikit menjadi korban permainan Kitab Suci dengan tafsiran-tafsiran yang membinugngkan dan menyesatkan.
Bagaimana caranya membaca Kitab Suci dengan benar? Bagaimana kita sebagai orang Asia membaca Kitab Suci dalam Konteks Asia? Itulah yang akan kita gumuli bersama. Perlu diingat, bahwa sikap dasar membaca Kitab Suci adalah ”mendengarkan dengan hati terbuka” untuk berjumpa dengan Dia yang menyapa kita dalam Sabda Kehidupan.
”Cara teristimewa untuk berjumpa dengan Allah ialah dengan jatuh cinta kepada-Nya, khususnya dengan membaca Kitab Suci dalam suasana doa.” (Paus Benediktus XVI).
”Cara teristimewa untuk berjumpa dengan Allah ialah dengan jatuh cinta kepada-Nya, khususnya dengan membaca Kitab Suci dalam suasana doa.” (Paus Benediktus XVI).
Untuk memahami Kitab Suci dibutuhkan studi yang tekun. Lebih dari itu, keakraban dengan Kristus dan doa. Roh Kudus telah dicurahkan kepada kita. Dialah guru ilahi yang mengajarkan kepada kita pemahaman yang tepat. Selain itu para pakar Kitab Suci Katolik telah menerbitkan banyak buku tafsir dan buku pedoman, ”sehingga sebanyak mungkin pelayan sabda ilahi dapat menyuguhkan secara berdayaguna santapan rohani Kitab Suci kepada umat Allah, santapan yang menerangi budi, menguatkan kehendak, dan membakar semangat mereka untuk mencintai Allah.” (Dei Verbum #23).
Kita sering lupa bahwa Kitab Suci lahir di Asia, bahwa Allah yang kekal masuk ke dalam sejarah manusia dengan mengambil wajah manusia Asia dengan mental dan kebudayaan Asia.
Dua ciri Asia yang akan disoroti di sini adalah
(1) kekeluargaan, persaudaraan, solidaritas
(2) komunikasi lewat cerita.
Dua ciri Asia yang akan disoroti di sini adalah
(1) kekeluargaan, persaudaraan, solidaritas
(2) komunikasi lewat cerita.
Semoga dengan refleksi ini hati kita semakin berkobar untuk mengenal dan menghayati Sabda Kehidupan dan melaksanakannya dalam hidup keseharian kita. Jika demikian, api itu akan berpijar dan mengobarkan sesama umat. Itulah pewartaan lewat hidup. Bersama-sama kita membangun habitus baru, umat baru, keluarga Allah yang menempuh ziarah hidup ini dengan berpegang teguh pada Sabda Kehidupan sampai tiba di tanah air surgawi.
DALAM KEKELUARGAAAN, PERSAUDARAAN DAN SOLIDARITAS
Pater Manuel Pinto SDB dari Dili berkisah: ”Saya studi Kitab Suci di Yerusalem dan Roma bersama mahasiswa dari manca negara, kebanyakan orang barat. Habis makan dan doa bersama, kami bubar, msing-masing sibuk dengan kegiatannya sendiri. Berbeda sekali ketika saya mengajar di Filipina. Para mahasiswa berasal dari berbagai negara Asia: Korea, Vietnam, Thailand, Malaysia, Indonesia, dll. Mereka suka studi bersama, main bersama. Akrab sekali, dan suasana persaudaraan itu membuat para dosen barat heran dan kagum.” Mungkin kita punya pengalaman serupa yang membuat kita menarik kesimpulan bahwa kekeluargaan dan persaudaraan memang ciri utama dari orang Asia.
Dalam rangka itu sangat menarik ungkapan Dei Verbum #21 ini: ”Di dalam Kitab Suci, Bapa yang ada di surga dengan penuh kasih sayang menjumpai putra-putri-Nya dan berbicara kepada mereka.”
Yesus, orang Asia, mengajar kita menyapa Allah dengan sebutan ”Abba, Bapa”. Bukankah kita juga biasa menyapa laki-laki dan perempuan yang lebih tua dengan sebutan ”Bapak” dan Ibu”? Kita semua anak-anak Abba, Bapa. Persatuan kita dengan Abba Bapa, menjadikan kita saudara satu sama lain. Kita ini keluarga Allah! (1 Tim 3:15).
Yesus, orang Asia, mengajar kita menyapa Allah dengan sebutan ”Abba, Bapa”. Bukankah kita juga biasa menyapa laki-laki dan perempuan yang lebih tua dengan sebutan ”Bapak” dan Ibu”? Kita semua anak-anak Abba, Bapa. Persatuan kita dengan Abba Bapa, menjadikan kita saudara satu sama lain. Kita ini keluarga Allah! (1 Tim 3:15).
Alkitab yang lahir dan mendapat bentuknya di Asia, adalah buku keluarga! Allah mulai dengan menciptakan keluarga. ”Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja.” (Kel 2:18). Adam dan Hawa beranak cucu dan memenuhi seluruh bumi. Abraham dipanggil menjadi bapa sejumlah besar bangsa (Kej 17:4). Sesudah keluarga Abraham, kita dikenalkan dengan keluarga Ishak, keluarga Yakub, keluarga Yusuf, keluarga Musa, Keluarga Yosua, keluarga Naomi dan banyak lainnya.
Berkat diberi melalui keluarga. Kepada Abraham; ”Aku akan mengadakan perjanjian antara Aku dan engkau serta keturunanmu... supaya Aku menjadi Allahmu dan Allah keturunanmu.” (Kej 17:7). Di saat yang kritis, Yosua mengadakan pilihan yang tepat, tapi tidak sendirian: ”Aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada Tuhan.” (Yos 24:15). Tuhan memberi janji indah ini kepada Daud: ”Aku akan membangkitkan keturunanmu yang kemudian. Aku akan menjadi Bapanya, dan ia menjadi anak-Ku. Kasih setia-Ku tidak akan hilang daripadanya... ” (2 Sam 7:12-15). Sebaliknya, dosa mendatangkan kutuk, tidak atas diri si pendosa saja, melainkan juga atas keluarganya, misalnya keluarga Korah, Datan dan Abiram ikut binasa karena ketiga tokoh itu berontak terhadap Allah dan Musa (Bil 16).
Yesus, Sabda Kekal yang menjadi manusia, lahir dalam keluarga (Mat 13:55-56). Di situ disebut ayah dan ibu-Nya, juga saudara-saudara-Nya laki-laki dan perempuan. Seperti pada kita juga, saudara , adik , kakak , tidak perlu sekandung! Yesus memberi arti baru pada keluarga . Bukan berdasarkan pertalian darah, tapi berdasarkan pertalian kita dengan sabda: ”Ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku ialah mereka yang mendengarkan firman Allah dan melakukannya.” (Luk 8:21).
Kekeluargaan dan persaudaraan membuahkan solidaritas, terlebih dengan yang miskin, lemah dan tertindas. Allah solider dengan umat-Nya dalam perbudakan: ”Aku telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan umat-Ku... Aku telah mendengar seruan mereka.. Aku mengetahui penderitaan mereka.. Aku telah turun untuk melepaskan mereka.. ” (Kel 3:7-8). Alkitab berisi sejarah keselamatan, sejarah solidaritas dan belaskasih Allah dengan umat manusia yang celaka karena dosa. Solidaritas itu membawa Putra Abba yang terkasih ke kayu salib. Kematian-Nya membawa keselamatan bagi kita, keluarga-Nya.
Kita diberi kepercayaan untuk meneruskan kisah yang menyelamatkan itu sebagai Musa dan Paulus dan Lois dan Eunike zaman ini. Bukan sebagai tukang khotbah, tapi terlebih dengan menjadi bapak dan ibu dari keluarga Allah. (Bdk Bil 11:11-12; 1 Kor 4:15; 2 Tim 1:5).
Refleksi:
1. Di zaman kita nilai kekeluargaan dan persaudaraan terancam oleh materialisme dan konsumerisme. Bagaimana membaca Kitab Suci bisa menumbuhkan kembali nilai-nilai kekeluargaan dan persaudaraan?
2. Sesudah 62 tahun merdeka, kita masih terpuruk karena ketidakadilan, kekerasan, kemiskinan. Bagaimana membaca kitab Suci bisa menumbuhkan kepedulian, terlebih terhadap orang miskin dan tak berdaya? Aksi nyata berupa apa?
Sr. Emmanuel Gunanto,osu
http://www.karismatikkatolik.org/archived/detailArticlecca6.html?id=3&id2=10&id3=78