Latest News

Featured
Featured

Gallery

Technology

Video

Games

Recent Posts

Wednesday 11 December 2019

Ternyata Rahasia Awet Muda ada di alkitab, tdk perlu keluar uang banyak utk program2 rejuvenation:


Ternyata Rahasia Awet Muda ada di alkitab, tdk perlu keluar uang banyak utk program2 rejuvenation:

12
 RAHASIA AWET
 MUDA

1. Hadapilah segala masalah dengan santai dan tenang.
(1 KOR 10 : 13)

2. Bersedih hati janganlah terlalu berkepanjangan.
(NEH 8 : 10 ; ROM 12 : 12 ; PKH 3 : 1 - 1l)

3. Aktiflah dalam kerja dan pelayanan.
(ROM 12 : 11)

4. Jauhkanlah amarah karena amarah memakan energi yang berpengaruh buruk terhadap fisik.
(AMS 19 : 19)

5. Bila segala sesuatu dapat diselesaikan dgn ketenangan, mengapa harus dibarengi dgn ketegangan?
(AMS 17 : 19 - 20)

6. Kedengkian dan iri hati berpengaruh buruk terhadap peredaran darah dan jantung.
(MAZ 37 : 1)

Friday 1 November 2019

Allah Sebagai Pengarang Alkitab Melalui Manusia


Allah sebagai pengarang Alkitab,via manusia yang diterangi oleh Kuasa Roh Kudus.Konsili Vat II dalam DV artikel 11 merumuskan demikian : 

"Yang diwahyukan oleh Allah dan yang termuat serta tersedia dalam Kitab Suci telah ditulis berdasarkan Roh Kudus.Sebab Bunda Gereja yang kudus,berdasarkan iman para Rasul ,memandang kitab-kitab Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru secara keseluruhan,seserta semua bagian - bagiannya,sebagai buku-buku yang suci dan kanonik,karena ditulis dengan ilham Roh Kudus (lih.Yoh 20,31; 2Tim 3,16; 2Pet 1,19-21; 3,15-16) ,dan mempunyai Allah sebagai pengarangnya,serta dalam keadaannya demikian itu diserahkan kepada Gereja.Tetapi dalam kitab-kitab suci itu Allah memilih orang-orang yang digunakan-Nya sementara mereka memakai kecakapan dan kemampuan mereka sendiri,supaya sementara Dia berkarya dalam dan melalui mereka,-semua itu dan hanya itu yang dikehendaki-Nya sendiri dituliskan oleh mereka sebagai pengarang yang sungguh-sungguh."
https://deiverbum6.blogspot.com/2019/11/allah-sebagai-pengarang-alkitab-melalui.html

Sunday 11 March 2018

Memadukan Firman Tuhan dan Tantangan Lokal

Memadukan Firman Tuhan dan Tantangan Lokal

Judul :Gereja yang Hadir di Sini
dan Sekarang
Editor : Dr Leonardus Samosir, OSC
Penerbit : Obor
Cetakan : November 2O17
Tebal : 78 halaman
ISBN : 978-979-565-814-6
Awalnya, Gereja berkembang pesat di Eropa lalu disebarkan oleh pewarta injili ke seluruh dunia. Eropa sebagai sentra tidak hanya menjadikannya patokan keagamaan, namun juga pusat kegiatan. Akibatnya, Gereja yang jauh dari Eropa tidak bisa memaksimalkan fungsinya untuk mewarnai umat. Konsili Vatikan II memantik perubahan signifikan ketika melahirkan resolusi peran Gereja seluruh dunia setara dengan Eropa. Mereka bisa melahirkan kebijakan dan mengeluarkan keputusan mandiri yang dianggap sesuai dengan arah perkembangan umat setempat. Teolog Karl Rahner menyebut, Konsili Vatikan II sebagai peristiwa mewujudkan Gereja Dunia. “Gereja tampaknya mulai meninggalkan karakter eurosentris yang bagaikan perusahaan ekspor membawa iman Kristiani ke wilayah lain,” kata Karl Rahner (hlm ix).
Buku ini mengungkap gerak langkah Gereja Katolik Indonesia membumikan Gereja. Dengan dokumen dan inspirasi Konsili Vatikan II, Gereja Katolik Indonesia berusaha untuk setia kepada warta injili, tetapi sekaligus mengakomodasi situasi lokal. Indra Tanureja, salah satu penulis dalam buku ini, mengulas kegiatan dan program Gereja Katolik Indonesia dalam rangka sosialisasi Injil. Pengetahuan umat tentang Injil belum kuat. Di samping fasilitas dan kegiatan yang dirasa belum memadai, juga masih belum maksimalnya pesan Injil yang diterjemahkan ke dalam bahasa lokal atau daerah, bukan hanya Bahasa Indonesia (hlm 3). Pelaksanaan program kegiatan didasarkan pada Dei Verbum Konsili Vatikan II. Isinya, kaum beriman Kristiani, jalan menuju Kitab Suci harus terbuka lebar. Jika tidak dia akan diabaikan umat. Begitu umat abai, tidak akan jadi pedoman kehidupan. Ini kegagalan absolut untuk menjadikan Alkitab pelita bagi kakiku, dan terang bagi jalanku (bdk Mzm 119:105).
Programnya bervarian. Ada yang serius dan bersifat seremonial. Ada juga having fun seperti lomba-lomba semacam kuis Kitab Suci. Variasi program tersebut disesuaikan dengan segmen umur dan taraf umat. Surat Gembala, penyediaan Alkitab, Bulan Kitab Suci Nasional, Pembinaan dan Kaderisasi merupakan kegiatan formal berkala. Ada pertautan penting antara kegiatan Gereja dan ajaran Kitab Suci yang secara diametral tidak bersentuhan langsung, namun saling berpengaruh secara kausalistik. Misalnya, kesibukan Gereja yang tidak berkaitan langsung dengan Kitab Suci seperti narkoba, sampah, pemilu, hukuman mati dan sebagainya. Padahal hakikatnya gerakan ke arah itu diilhami pesan implisit Kitab Suci. “Dengan demikian dalam kehidupan Gereja, Alkitab sebenarnya lebih banyak bermain di belakang layar,” katanya (hlm 20).
Tanda bahwa Gereja telah menggarami dunia ketika kaum awam berperan aktif memahami, mengimani, dan mewartakan Kitab Suci. Di sini ada ekspansi peran yang sebelumnya hanya dipegang secara eksklusif oleh para imam. Penyertaan kaum awam tidak hanya sebagai bentuk pembumian ajaran Aliktab hingga masyarakat akar rumput, namun juga sebagai panggilan Yesus agar pesan-Nya disebarkan ke seluruh umat. Di samping itu, peran kaum awam ini menjadi terobosan akan jumlah Imam yang makin sedikit. Ad Gentes 21 menegaskan, “Sebab Injil tak mungkin secara mendalam meresapi bakatbakat, kehidupan dan kegiatan suatu bangsa, tanpa kehadiran aktif kaum awam (hlm 43).”
Peran signifikan kaum awam bisa dilihat dari luasnya akses dalam kehidupan masyarakat. Mereka bisa menjabat sebagai guru, tentara dalam, dokter dan lain sebagainya. Mereka menjadi gula yang bisa memaniskan kehidupan. Dengan nilai Injil yang mereka imani, juga menjelma garam yang mampu mengasinkan lingkungan dengan sikap, tutur kata atau pewartaan mereka. Pembahasan dalam buku ini didasarkan sepenuhnya pada Peta Eklesiologi Dokumen KWI.
Diresensi Faiz, Staf Lembaga Pendidikan An-Najah Karduluk, Madura

Resensi Tambahan dari Gramedia : 

Tidak kurang teolog seperti Karl Rahner menyebut Konsili Vatikan II sebagai peristiwa mewujudnya "Gereja Dunia". Memang, pada hakikatnya Gereja adalah Gereja Dunia, namun aktualisasi hakikat Gereja ini mulai muncul dengan "malu-malu" lewat Konsili Vatikan II. Gereja tampaknya mulai meninggalkan karakter "eurosentris" (eropa menjadi pusat) yang bagaikan "perusahaan ekspor" membawa iman Kristiani ke wilayah lain.
Ungkapan Rahner tadi tergambar juga dalam gerak Gereja Katolik di Indonesia. Dengan inspirasi dan dukungan dokumen-dokumen Konsili Vatikan II, Gereja Katolik di Indonesia berusaha untuk setia kepada warta injili, tetapi sekaligus "bertemu" dengan situasi lokal.
Buku Peta Eklesiologi Menurut Dokumen KWI ini hendak menggambarkan dinamika Gereja di atas. Gambaran ini hendak disasar dari dokumen-dokumen yang dikeluarkan oleh Konferensi Waligereja Indonesia.
Membaca buku Peta Eklesiologi ini kiranya kita akan mendapatkan gambaran dan posisi kita di tengah hidup menggereja di Indonesia. Sekaligus diharapkan para pembaca akan memiliki gambaran yang lebih jelas tentang arah pastoral hidup menggereja yang muncul dalam berbagai keuskupan di Indonesia.

Tuesday 6 March 2018

Doa sebelum memasukin dunia maya (internet)


Allah yang mahakuasa dan kekal,
Engkau menjadikan kami menurut citra dan rupaMu
Engkau menghendaki agar kami mencari segala yang baik, sejati dan indah,
Terutama dalam diri ilahi Putera Tunggal-Mu, Tuhan kami Yesus Kristus,
Kami mohon, dengan perantaraan St. Isidorus, uskup dan doktor,
Agar selama kami menjelajahi dunia maya (internet)
Kami menggunakan tangan dan mata kami hanya untuk hal-hal yang 
menyenangkan Dikau serta melayani
Semua yang kami jumpai disana dengan cinta-kasih dan kesabaran.
Demi Kristus Tuhan kami. Amin

 

 

Saint Isidore of Seville Sanctus Isidorus Hispalensis

Proposed Patron Saint of Internet Users
(c.560 - 636)
A Prayer before Logging onto the Internet and the Catholic Online Forum
Almighty and eternal God,
who created us in Thy image and bade us to seek after all that is good,
true and beautiful,
especially in the divine person of Thy only-begotten Son,
our Lord Jesus Christ,
grant we beseech Thee that,
through the intercession of Saint Isidore,
bishop and doctor,
during our journeys through the internet we will direct our hands and eyes only to that which is pleasing to Thee
and treat with charity and patience all those souls whom we encounter.
Through Christ our Lord.
Amen

Praktek - Lectio Devina - di Pertapaan

PRAKTEK KLASIK  Lectio Divina -- dalam suasana doa membaca Kitab Suci, yang kita diimani sebagai buku yang memiliki ilham ilahi -- ditemukan kembali dan dibarui pada zaman kita ini. Sementara itu ada beberapa cara praktek Lectio Divina telah bertumbuh hingga membingungkan sehubungan dengan  adanya juga Praktek Doa Hening yang sebenarnya berbeda. Beberapa penjelasan tentang perbedaan-perbedaan itu kiranya dapat menolong kita untuk memahaminya.

Pertama, kita harus membedakan antara Lectio Divina dan pelajaran/pendalan Kitab Suci, yang amat berguna di waktu yang lain yang memberikan suatu pengertian yang kuat sebagai latar belakang Lectio Divina.

Kedua, Lectio Divina tidak sama dengan membaca ayat-ayat bagi tujuan perkembangan rohani pribadi, atau menjadi akrab dengan banyak segi  yang menyangkut  tentang pewahyuan, dan terutama tentang  Yesus Kristus, Sabda Allah yang menjelma. Lectio Divina lebih merupakan suatu cara atau rumus untuk menuju sasaran-sasaran itu.

Ketiga, Lectio Divina tidak sama dengan bacaan rohani, yang bergerak melampaui batas pembacaan  dari ayat-ayat suci saja, karena mencakup buku-buku rohani yang lain seperti misalnya kehidupan dan tulisan para kudus.

Akhirnya, Lectio Divina tidak sama dengan berdoa menurut Kitab Suci bersama-sama , suatu perkembangan sezaman yang kadang-kadang disamakan dengan Lectio Divina. Praktek  klasik Lectio Divina dilakukan secara pribadi dengan mengikuti gerakan Roh Kudus menurut waktu yang diperuntukkan  seseorang pada setiap langkah proses, maupun saat beralih dari satu langkah ke langkah yang lain dalam satu waktu doa. Bila mengikuti suatu susunan yang khusus, seperti yang dibutuhkan di dalam semua bentuk doa bersama , ada kecenderungan untuk membatasi secara spontan gerakan Roh Kudus, yang merupakan pusat  praktek pelaksanaanya.   

Pada umumnya berdoa dengan Kitab Suci dapat dianggap sebagai semacam “Liturgi Lectio Divina” atau lebih tepatnya, sebagai semacam “Liturgi Sabda” yang disharingkan. Dengan beberapa variasi, biasanya berjalan sebagai berikut: Suatu perikop  dibacakan dengan lantang tiga atau empat kali, dilanjutkan dengan hening selama dua atau tiga menit. Setelah setiap pembacaan peserta menerapkan imtil diri dalam hati  teks itu secara tertentu. Setelah pembacaan pertama kali, mereka menyadari suatu kata atau ungkapan. Setelah pembacaan kedua kali, mereka merenungkan tentang arti atau makna teks. Setelah pembacaan ketiga kali, mereka menanggapi dalam doa spontan. Setelah pembacaan keempat kali, mereka berdiam dengan sederhana dalam hadirat Allah dan setelah hening beberapa saat lamanya, mereka yang bersedia diajak  untuk ber-bagi  singkat tentang teks itu. Dalam beberapa keadaan ada suatu sharing singkat setelah pembacaan ketiga atau keempat kali dan waktu hening. Berdoa bersama atas  Kitab Suci di dalam acara  Doa Hening mingguan atau waktu lain terbukti merupakan pengalaman berharga dan suatu peluang untuk mempersatukan para anggota di dalam iman dan kasih. 

Praktek klasik Lectio Divina  dapat dibagi dalam dua bentuk: monastik (pertapaan) dan skolastik (lebih menekankan penggunakan pikiran). Bentuk skolastik membagi proses atas tahap-tahap atau langkah-langkah dalam pola hirarkis.

Dengan mengikuti bacaan suatu perikop  Kitab Suci, langkah pertama adalah mengijinkan suatu kata atau ungkapan untuk muncul dari teks dan memusatkan perhatian kepadanya. Ini dinamakan Lectio. Yang kedua adalah bagian refleksi, merenungkan kata-kata dari ayat suci, dan dinamakan meditatio “meditasi”. Gerakan spontan dari kehendak dalam menganggapi perenungan itu dinamakan oratio, “doa afektif”. Dan ketika perenungan dan dorongan kehendak itu bersatu, orang beralih dari waktu ke waktu kepada suatu keadaan beristirahat di dalam kehadiran Allah, dan itu dinamakan contemplatio “kontemplasi”. Melakukan Lectio Divina secara demikian berkembang di dalam Abad Pertengahan yakni pada awal masa skolastik dengan kecenderungan untuk menggolong-golongkan hidup rohani dan bersandar pada analisa rasional di dalam teologi sampai benar-benar mengesampingkan pengalaman pribadi.
Bentuk monastik dari Lectio Divina merupakan metode lebih tua  dan dilakukan oleh Ibu-ibu dan Bapa-bapa Padang Gurun dan di kemudian hari di pertapaan-pertapaan Timur maupun Barat. Bentuknya lebih tertuju kepada doa kontemplatif ketimbang bentuk skolastik, terutama ketika bentuk skolastik berkembang kepada apa yang sekarang kita sebut meditasi diskursif (menggunakan pemikiran) , yang terdiri dari beralih dari satu pikiran kepada pikiran yang lain atau sebagai satu tahap dalam langkah-langkah yang berturutan.

Metode tersebut merupakan suatu cara berdoa yang baik asal  tidak berhenti di sana dan gagal untuk beralih kepada doa kontemplatif. Salah satu tujuan Doa Hening adalah untuk menolong orang melepaskan diri dari penggunaan meditasi diskursif melulu , yang menjadi metode utama di abad-abad belakangan ini, bahkan di dalam biara-biara tertutup. Kebanyakan orang kristiani dilatih untuk merenungkan dan memperbanyak tindakan tertentu dari kehendak agar menuju Allah dan orang lalu sulit membayangkan berdoa tanpa melakukan prosedur seperti ini. Karena berdoa menurut Kitab Suci biasanya meliputi meditasi diskursif, wajarlah kalau lebih tepat  mengadakan “Liturgi Sabda” semacam itu setelah waktu Doa Hening ketimbang sebelum Doa Hening. Dan lagi,  kedua latihan itu janganlah dipadukan karena masing-masing mempunyai keutuhan dan keunikan tersendiri. 

Dalam melakukan Lectio Divina dalam praktek di pertapaan, kita mendengarkan bagaimana Allah memanggil kita melalui teks atau ayat tertentu. Dari segi ini tidak ada tahap-tahap, tingkat atau langkah di dalam Lectio Divina, namun ada empat waktu sepanjang perjalanan dalam lingkaran. Semua waktu di dalam lingkaran dipersatukan satu dengan lain dalam pola horisontal yang saling berhubungan dan juga dengan pusat, yang adalah Roh Allah yang berbicara kepada kita melalui ayat di dalam hati kita. Memusatkan perhatian pada salah satu dari empat “waktu” sama dengan berhubungan langsung dengan yang lain. Dalam segi ini, orang dapat mulai berdoa pada “waktu” mana saja sepanjang lingkaran, maupun beralih dengan tenang dari “waktu” yang satu kepada yang lain, menurut dorongan Roh Kudus. 

 Paulus menulis, “Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu?” (1Kor 3:16).   Sekiranya anda tersentuh oleh pertanyaan itu ketika membaca bagian injil hari bersangkutan, daraskanlah  sekitar selusinan   ayat itu, dan anda merasa terdorong untuk terus menerus merenung-renungkan perkataan-perkataan itu untuk mencecapnya. Para rahib pemula membaca Kitab Suci dengan lantang supaya mereka sungguh mendengarkannya. Setelah itu mereka akan memilih satu ungkapan, atau paling banyak satu kalimat, yang berkesan pada mereka. Mereka akan duduk bersama ungkapan atau kalimat itu tanpa memikirkan tahap-tahap atau mengikuti skema tertentu, namun hanya mendengarkan, mengulang-ulang dengan lambat teks singkat yang sama. Sikap yang siap sedia ini memungkinkan Roh Kudus untuk meningkatkan  kemampuan mereka dalam mendengarkan. Pada waktu mereka mendengarkan, mereka mungkin mendapat kedalaman baru atau suatu makna baru dari teks. Suatu pengrtisn tertentu bisa juga tepat bagi mereka di dalam keadaan hidup tertentu atau daslam  peristiwa-peristiwa di hari yang akan datang. Menurut Kitab Suci, Roh berbicara kepada kita setiap hari. “Pada hari ini, sekiranya kamu mendengarkan suaraNya, janganlah keraskan hatimu” (Mzm 95). Para rahib mendengarkan bukan untuk lebih memahami teks, bukan untuk memikirkan atau menganalisanya, namun hanya untuk mendengarnya. Dan mendengarnya tanpa suatu tujuan yang ditetapkan sebelumnya akan apa yang harus mereka perbuat dengan teks itu.
Hal ini sudah merupakan suatu bentuk mendalam dari kesediaan menerima. Mereka yang melakukan  Lectio Divina secara ini sudah bergerak menuju “waktu/saat” keempat dari proses dinamis menuju beristirahat di dalam Allah.  
Di dalam menanggapi suatu pemahaman  baru, mereka bisa dibangkitkan untuk berterima kasih atau dengan dorongan-dorongan cinta, pujian atau syukur di dalam batin. Ketika sikap mendengarkan ini menjadi tetap, mereka bisa mengalami saat-saat doa kontemplatif dalam arti sesungguhnya, di mana mereka hanya hadir di hadapan Allah, atau sengan hening menikmati kehadiran ilahi. Di dalam keadaan ini, perhatiaan seseorang kepada Allah meluas ke dalam kesadaran halus akan kehadiran ilahi. Saat ini, kita menembus selubung cara berpikir kita sendiri. Sabda Allah yang tertulis di dalam Kitab Suci menyadarkan kita akan Sabda Allah yang batiniah di kedalaman diri kita. Apabila kesadaran itu menghilang, kita boleh kembali dan membaca kelanjutan teks, tentu saja bila ada waktu. 

Cara pertapaan  melakukan Lectio Divina selalu mulai dengan doa kepada Roh Kudus. Keempat waktu sepanjang keadaan lingkaran adalah membaca di dalam hadirat Allah, merenungkan dalam arti mengunyah-ngunyah (bukan dalam arti meditasi diskursif), menanggapi dengan doa spontan, dan beristirahat di dalam Allah di luar akal budi dan prilaku tertentu dari kehendak.

Dengan “mengunyah-ngunyah” saya maksudkan duduk dengan satu kalimat, dengan suatu ungkapan atau bahkan satu kata yang muncul dari teks, dengan mengijinkan Roh Kudus meluaskan kemampuan kita untuk mendengarkan dan membuka diri kita kepada makna yang lebih mendalam, dengan kata lain, meresapkan arti rohani dari suatu perikop  Kitab Suci. Hal ini menghantar kepada pengalaman iman akan Kristus yang hidup dan meningkatkan prilaku kasih bagi sesama yang mengalir dari relasi tersebut. 

Di kala kita mengulangi ungkapan atau kalimat itu perlahan-lahan, diulang-ulang, suatu pegertian yang lebih dalam akan timbul. Misalnya, ambillah kata-kata Yesus, “Aku tidak menyebutmu hamba, melainkan sahabat.” Secara tiba-tiba, dapat turun pada kita apa artinya menjadi sahabat Yesus. Kesadaran kita meluas tanpa kita berbuat apa-apa selain mengijinkan Roh kudus bekerja. Inilah suatu pertukaran dari hati-ke hati dengan Kristus. Kita beserta teks tapi kita tidak memikirkan teks itu. Bila kita memikirkannya dalam arti bercermin, kita menguasai percakapan. Hal itu dapat dilakukan dengan bermanfaat pada waktu yang lain. Di sini persoalannya adalah tentang menerima dan beristirahat di dalam kehadiran Kristus sebagai sumber perkataan atau ungkapan itu.  
Lectio Divina adalah semacam proses istimewa, dan untuk mendapatkan manfaat sepenuhnya dari hasilnya, keutuhannya juga harus dihormati. Buah matang dari praktek latihan teratur Lectio Divina adalah menjadi semakain menyatu atau diresapi oleh sabda Allah.  Ini merupakan suatu pergerakan dari percakapan kepada persatuan. Ini juga memampukan kita untuk mengungkapkan pengalaman rohani kita yang mendalam akan persatuan dengan Allah di dalam kata-kata atau lambang-lambang yang tepat dan sesuai dengannya. Maka di sini ada suatu pergerakan bukan hanya untuk masuk ke dalam keheningan, namun juga dari keheningan ke dalam pengungkapan. 

Di dalam Tritunggal, Sabda Allah selalu muncul dari keheningan tak terbatas Sang Bapa dan selalu kembali. Pribadi-pribadi di dalam Tritunggal hidup di dalam diri satu sama lain ketimbang di  dalam diri masing-masing. Bapa mengenal diriNya hanya di dalam Putera, Putera hanya di dalam Bapa dan Roh Kudus terungkap di dalam persatuan mereka, menyatukannya di dalam Satu hubungan yang kekal nyata. Trinitas adalah landasan bagi kemanunggalan dan keragaman yang kita lihat diungkapkan melalui ciptaan. Melatih Lectio secara ini, orang mengenali kehadiran Sabda Allah di dalam segala ciptaan dan di dalam segala peritiwa, mengalami apa yang ditulis pengarang Injil di dalam prakata , “Tanpa Dia tidak ada sesuatu yang dijadikan.”  

Dalam doa kontemplatif, kita bersentuhan dengan sumber segala ciptaan; sebab itu, kita mengangkat diri dan pandangan-pandangan duniawi kita yang terbatas. Sebagai akibatnya, kita merasa satu dengan orang lain dan menikmati perasaan menjadi bagian alam semesta. Kepenuhan keAllahan berdiam secara jasmaniah di dalam diri Yesus, kata Paulus. Keilahian mulai berdiam di dalam diri kita secara jasmaniah sebanding dengan kemampuan kita untuk menerimanya ketika kita bertumbuh di dalam persatuan dengan Sabda Kekal. Proses ini perlu dipupuk baik dengan keheningan batin di dalam doa kontemplatif maupun dikembangkan dengan Lectio Divina (dalam arti mendengarkan). Kesadaran akan hadirat ilahi juga akan mulai mengalir ke dalam kegiatan sehari-hari. 
Metode skolastik merupakan suatu cara yang baik untuk belajar Lectio Divina baik secara pribadi maupun di dalam kelompok, namun pada suatu titik tertentu ketika orang  telah menangkap suatu gagasan, kita perlu menjelaskan dengan hati-hati metode pertapaan  yang sejak awal mula berpusat pada beristirahat di dalam Allah dengan membuat diri kita dalam suatu sikap mendengarkan. Pengaruh timbal balik yang dinamis di antara keempat “waktu” dari pembacaan Lectio, refleksi dalam arti mengunyah suatu kalimat atau kata tertentu, menanggapi di dalam doa, dan beristirahat di dalam Allah membuat diri kita semakin lama semakin siap bagi Roh Kudus.***

Sumber: Contemplative Outreach
a.b. TT
Oleh Thomas Keating

Peranan Kitab Suci Dalam Kehidupan Menggereja (1)


Salah satu prestasi besar Konsili Vatikan II adalah pembaharuan minat dalam Kitab Suci atau Alkitab di antara orang-orang Katolik. Pembaharuan ini cukup dramatis apabila kita membandingkan praktek kekatolikan umat pada tahun 1950 an dan situasi masa kini, di dunia pada umumnya dan di Indonesia khususnya.
Pada pertengahan abad ke-20 Kitab Suci  berbahasa Latin-lah yang dibacakan dalam Misa Kudus. Pada masa itu terdapat sedikit bacaan yang dipilih dari Perjanjian Lama, dan ada sejumlah kecil bacaan yang diambil dari Perjanjian Baru yang mendominir lingkaran satu tahun. Dalam menanggapi Konsili Vatikan II, kita sekarang mempunyai sebuah lingkaran tiga tahunan perihal pembacaan pada Misa hari Minggu dan sebuah lingkaran dua tahunan perihal pembacaan pada Misa harian. Bacaan-bacaan Perjanjian Lama menjadi menonjol dan hampir keseluruhan Perjanjian Baru (Injil dan surat-surat/epistola serta Kitab Wahyu) mendapat kesempatan untuk dibacakan. Teks yang dibacakan juga dalam bahasa setempat yang dominan.

Di banyak tempat, perkembangan mencolok tampak dalam kurikulum sekolah-sekolah Katolik dan juga seminari-seminari, yaitu tempat menggodok para calon imam. Memang sejak Konsili Vatikan II secara bertahap Alkitab tidak hanya mengemuka dalam liturgi Katolik, pendidikan Katolik, tetapi juga dalam devosi dan praktek kesalehan populer Katolik. Kelompok-kelompok doa Karismatik dan komunitas-komunitas basis menemukan sumber kekuatan spiritual mereka dalam refleksi serta doa alkitabiah. Timbullah kesadaran dalam diri banyak umat, bahwa misalnya doa rosario yang tradisional dan kuno itu sesungguhnya sangat alkitabiah, demikian pula dengan bahasa yang digunakan dalam doa-doa Katolik.

Sejak Konsili Vatikan II, Kitab Suci juga memainkan peranan yang penting dalam gerakan ekumene, kendati perbedaan-perbedaan historis dan teologis antara gereja-gereja Kristiani masih tetap ada. Kemajuan utama adalah bahwa pelbagai gereja yang berbeda-beda itu telah memusatkan perhatian mereka pada Alkitab sebagai warisan bersama dan mereka pun telah mengkaji-ulang perbedaan-perbedaan yang ada di antara mereka dalam terang bahasa dan pola-pola pemikiran Alkitab . Apabila ini telah terjadi, maka biasanya hasilnya adalah pengakuan bahwa yang menyatukan gereja-gereja Kristiani itu lebih penting dan lebih fundamental daripada  hal-hal yang memisahkan mereka. Berbagai bentuk pendalaman Kitab Suci juga sangat membantu pemahaman bersama dan tumbuhnya semangat saling menghormati.

Teologi Katolik sejak Konsili Vatikan II jauh lebih memberi perhatian pada sumber-sumber alkitabiah; bahasa yang digunakannya pun lebih alkitabiah ketimbang bahasa filsafat. Dokumen-dokumen resmi Gereja yang berkaitan dengan masalah teologis atau persoalan-persoalan aktual pun hampir selalu berangkat dari Kitab Suci dan mendasarkan argumen-argumen mereka atas teks-teks alkitabiah. Misalnya, seorang pakar Kitab Suci terkenal – Joseph A. Fitzmyer SJ – menulis sebuah buku dengan judul yang menekankan pentingnya Kitab Suci dalam teologi: Scripture, the Soul of Theology (Kitab Suci, jiwa Teologi). Malah  salah satu bab buku itu diberi judul: Scripture, the Source of Theology (Kitab Suci,  sumber Teologi).[1] Judul-judul seperti ini rasanya tidak mungkin ada sebelum diselenggarakannya Konsili Vatikan II, misalnya di tahun 1950 an. Sesungguhnya, dapatlah dikatakan bahwa Gereja Katolik sekarang jauh lebih alkitabiah daripada di tahun 1950 an.

Studi Alkitab dalam Sejarah[2]

Agar dapat lebih memahami tempat Alkitab dalam pemikiran Katolik dewasa ini, maka perlulah kita melihat bagaimana orang-orang Kristiani di berbagai tempat pada masa lalu berpikir mengenai Alkitab. Dengan adanya penelitian Alkitab secara ilmiah, bukan berarti pendekatan-pendekatan sebelumnya menjadi tak berguna. Prinsip penafsiran ilmiah-modern tidak menggantikan pendekatan-pendekatan terdahulu. Sebuah sejarah singkat perihal tafsir alkitabiah akan mengungkapkan wawasan-wawasan penting yang masih berlaku sampai kini.
Perjanjian Lama adalah Alkitab bagi Yesus dan orang-orang Kristiani perdana. Menurut kitab-kitab Injil, Yesus seringkali mengutip atau merujuk pada teks-teks Perjanjian Lama untuk membuat suatu pengertian teologis, atau untuk menyarankan suatu cara bertindak. Dengan jelas kita dapat membaca bahwa Yesus menghargai teks-teks Perjanjian Lama ini sebagai sesuatu yang sampai derajat tertentu mempunyai kewenangan. Dalam Perjanjian Baru Yesus tampil sebagai seseorang yang menunjukkan sikap yang fleksibel terhadap Perjanjian Lama, bahkan memiliki kewenangan di atasnya.Yesus membedakan apa yang berasal dari Allah dan apa yang berasal dari Musa (lihat Mrk 10:1-12), Dia malah mengkritisi beberapa ajaran Perjanjian Lama dan kemudian mengajarkan pokok-pokok yang melampaui ajaran-ajaran Perjanjian Lama itu (lihat Mat 5:21-48) dan Dia pun menempatkan kasih kepada Allah dan sesama (Mrk 12:28-31) pada peringkat yang lebih tinggi daripada ketaatan-ketat pelaksanaan hari Sabat.
Penulis-penulis Perjanjian Baru seperti Paulus dan Matius melihat Perjanjian Lama digenapi dalam Yesus Kristus. Mereka mendasarkan diri pada pemahaman luas orang-orang Kristiani perdana. Dengan demikian mereka menafsirkan Kitab Suci dalam terang kehidupan, kematian dan kebangkitan Yesus. Seperti juga orang-orang Yahudi sezaman, mereka memahami Kitab Suci sebagai suatu misteri , artinya sesuatu yang tak dapat dipahami tanpa bimbingan dan penjelasan.[3] Orang-orang Kristiani perdana menemukan Yesus sebagai Kunci yang membuka misteri Kitab Suci Ibrani.
Pada zaman para Bapak Gereja (periode patristik) Alkitab sudah memuat baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Para Bapak Gereja atau para teolog awal, pada umumnya menggunakan salah satu dari dua pendekatan terhadap Kitab Suci, yaitu metode alegoris   dan metode literal .
Metode alegoris (salah satu metode untuk mencari makna/arti spiritual) secara khusus disenangi oleh para teolog yang tinggal di Alexandria, Mesir (Sekolah/Mazhab Kateketik – Didascaleion). Cara pendekatan ini menekankan usaha membongkar kebenaran-kebenaran spiritual yang berada di bawah permukaan cerita-cerita alkitabiah. Metode ini telah dikembangkan oleh para pemikir Yunani yang menafsirkan cerita-cerita dalam Iliad dan Odysey dari Homer sebagai simbolisasi pergumulan-pergumulan emosional dan spiritual dalam diri individu-individu. Metode ini juga telah digunakan oleh para juru tafsir Yahudi seperti Philo dari Alexandria (+ c.50), yang menggunakan metode ini atas Kitab Suci Ibrani agar supaya menarik bagi orang-orang Yunani dan orang-orang Yahudi yang telah dipengaruhi dan hidup dalam budaya Yunani. Para teolog Kristiani yang menggunakan metode ini termasuk Origenes (+ c.254) dan Klemen dari Alexandria (+ c.215).
Metode yang satunya lagi adalah membaca Alkitab dengan memperhatikan segi literalnya. Metode ini disenangi oleh para pemikir Kristiani yang tinggal di Antiokia, ibukota Siria pada zaman kekaisaran Roma. Pendekatan literer atau literal lebih memusatkan perhatian pada realitas-realitas sejarah yang dipaparkan dalam Kitab Suci. Metode ini mengajarkan bahwa pengertian yang lebih tinggi atau lebih dalam harus secara kokoh didasarkan pada pengertian literal   teks bersangkutan. Yohanes Krisostomos (+ 407) dan Theodorus dari Mopsuestia (+ 428) adalah contoh-contoh dari mereka yang menggunakan pendekatan ini.
Pentinglah untuk diakui bahwa penekanan-penekanan yang berbeda bukanlah berarti sepenuhnya bertentangan satu sama lain. Dengan demikian, metode alegoris tidak selalu menyangkal kebenaran historis dari peristiwa-peristiwa dalam Kitab Suci, dan metode literal tidak menyangkal makna spiritual dari peristiwa-peristiwa itu. Para teolog yang kemudian, cenderung untuk mencampur kedua pendekatan tersebut, meskipun lebih menyenangi salah satu kecondongan ketimbang yang lain. Augustinus (+ 430) misalnya cenderung untuk menggunakan metode alegoris, sedangkan Hieronimus (+ 420) cenderung menggunakan metode literal .
Menurut Katekismus Gereja Katolik (KGK), sesuai dengan tradisi tua, arti Kitab Suci itu bersifat ganda; yaitu arti harfiah (arti literal; Latin: sensus literalis; Inggris:literal sense) dan arti rohani (arti spiritual; Latin: sensus spiritualis; Inggris: spiritual sense).[4] Arti rohani ini dapat bersifat alegoris, moralis atau anagogis. Kesamaan yang mendalam dari keempat arti ini menjamin kekayaan besar bagi pembacaan Kitab Suci yang hidup di dalam Gereja (lihat KGK 115). Keempat arti tersebut adalah sebagai berikut:
Arti hurufiah atau harfiah (literal sense – what took place): arti yang dicantumkan oleh kata-kata Kitab Suci dan ditemukan oleh eksegese, yang berpegang pada peraturan penafsiran teks secara tepat. Dalam Summa theologiae, Thomas Aquinas (+ 1274) mengatakan: “Tiap arti [Kitab Suci] berakar di dalam arti hurufiah” (“All other senses of Sacred Scripture are based on the literal”). [lihat KGK 116]
Arti alegoris (allegorical sense – the hidden theological meaning): Kita dapat memperoleh satu pengertian yang lebih dalam mengenai kejadian-kejadian, apabila kita mengetahui arti yang diperoleh peristiwa itu dalam Kristus. Umpamanya penyeberangan Laut Merah adalah tanda kemenangan Kristus dan dengan demikian tanda Pembaptisan (bdk. 1Kor 10:2). [lihat KGK 117.1]
Arti moral (moral or tropological sense – the significance for the individual s behavior): Kejadian-kejadian yang dibicarakan dalam Kitab Suci harus mengajak kita untuk melakukan yang baik. Hal-hal itu ditulis sebagai “contoh bagi kita ….. sebagai peringatan” (1Kor 10:11; bdk. Ibr 3:1 – 4:11). [lihat KGK 117.2]
Arti anagogis (anagogical sense – the heavenly sense): Kita dapat melihat kenyataan dan kejadian dalam artinya yang  abadi, yang menghantar kita ke atas, ke tanah air abadi (Yunani: anagoge). Misalnya, Gereja di bumi ini adalah lambang Yerusalem surgawi (bdk. Why 21:1 – 22:5). [lihat KGK 117.3]
Para teolog Abad Pertengahan menyimpulkan keempat arti itu sebagai berikut:

“Littera gesta docet, quid credas allegoria
Moralis quid agas, quo tendas anagogia.”

“The Letter speaks of deeds; Allegory to faith;
The Moral how to act; Anagogy our destiny.”

“Huruf mengajarkan kejadian; apa yang harus kau percaya, alegori;
moral, apa yang harus kau lakukan; ke mana kau harus berjalan, anagogi.” (lihat KGK 118)

Sebagai contoh, baiklah kita melihat Gal 4:22-31. Dalam perikop ini, Yerusalem dapat diartikan sebagai sebuah kota di Palestina (arti hurufiah/literal), Gereja (arti alegoris), rumah surgawi kita semua (arti anagogis), dan jiwa manusia (arti moral). Dengan demikian cara pendekatan terhadap Kitab Suci yang beranega-ragam dapat dengan mudah merosot menjadi subjektivitas. Oleh karenanya Thomas Aquinas bersikukuh bahwa arti spiritual tidak perlu bagi iman kalau arti literalnya tidak dikemukakan di bagian lain dalam Kitab Suci. Thomas Aquinas juga menggunakan akal-budi manusiawi sebagai sebuah alat dalam menjelaskan Kitab Suci. Dia mencoba untuk mengawinkan kebenaran filsafat dengan kebenaran alkitabiah.

Dengan datangnya Renaissance dan munculnya humanisme, maka muncul pulalah sebuah minat baru untuk mempelajari Kitab Suci dalam bahasa-bahasa aslinya dan setting sejarahnya. Erasmus mengeluarkan sebuah edisi baru Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani, untuk digunakan bersama dengan Vulgata (dalam bahasa Latin). Dia juga menggunakan tulisan-tulisan klasik non-Kristiani, baik Yunani maupun Romawi, bersama-sama dengan tulisan-tulisan para Bapak Gereja guna menafsirkan teks-teks alkitabiah. Akan tetapi kemudian  kegairahan usaha pendalaman Kitab Suci orang Katolik menurun, sebagai reaksi terhadap klaim atas Alkitab yang dibuat oleh Martin Luther dan para reformator Protestan lainnya, teristiwa pernyataan-pernyataan mereka tentang kejelasan (clarity) Kitab Suci (sehingga tak diperlukan lagi Gereja sebagai penafsir akhir) dan kecukupannya (sufficiency) sehingga tak diperlukan lagi tradisi Gereja. Klaim para rasionalis masa Aufklärung membuat masalahnya menjadi lebih rumit bagi para penafsir Alkitab Katolik. Misalnya Baruch Spinoza dapat mengatakan bahwa apabila Kitab Suci berkonflik dengan filsafat (misalnya dalam hal mujizat), maka Kitab Suci harus ditolak. Beginilah nasib Gereja Katolik yang harus memainkan perannya sebagai pembela kebenaran alkitabiah.

Namun demikian, sepanjang masa ada prinsip-prinsip Katolik perihal penafsiran Kitab Suci yang tak kunjung hilang:
Arti sentral dari Kristus.
Perjuangan untuk tetap setia pada arti literal, sementara pada saat yang sama mencari arti spiritual.
Keyakinan bahwa iman dan akal budi tidak bertentangan satu sama lain.
Pandangan teguh bahwa Alkitab harus ditafsirkan di dalam Gereja.
Penekanan atas kebenaran alkitabiah dalam menghadapi serangan-serangan dari rasionalisme.[5]

Digunakan sebagai bahan kuliah di KPKS Santo Paulus, mata kuliah “Dasar-dasar Kerasulan Kitab Suci”.
1.        Joseph A. Fitzmyer SJ, Scripture, the Soul of Theology, MakatiPhilippines: ST PAULS, 1995.
2.        Uraian tentang studi Alkitab dalam sejarah ini mengandalkan tulisan Daniel J. Harrington SJ, The Bible in Catholic Life, dalam THE CATHOLIC STUDY BIBLE, hal. RG 17-18. Juga tulisan Dom D. Rees OSB, The Bible in the Life of the Church- Part II: An Historical Survey, dalam Reginald C. Fuller (General Editor), A New Catholic Commentary on Holy Scripture.
3.        Bacalah tulisan saya yang berjudul Memahami Firman Allah dalam Kitab Suci (1), tanggal 2 September 2009.
4.        Lihat juga Raymond E. Brown SS & Sandra M. Schneiders IHM, HERMENEUTICS, dalam Raymond E. Brown SS, Joseph A. Fitzmyer SJ & Roland E. Murphy O.Carm. (Editors), The New Jerome Biblical Commentary, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, 1990, hal. 1148.
5.        Daniel J. Harrington, hal. RG 18.





                 Joseph A. Fitzmyer SJ, Scripture, the Soul of Theology, MakatiPhilippines: ST PAULS, 1995.
[2]    Uraian tentang studi Alkitab dalam sejarah ini mengandalkan tulisan Daniel J. Harrington SJ, The Bible in Catholic Life, dalam THE CATHOLIC STUDY BIBLE, hal. RG 17-18. Juga tulisan Dom D. Rees OSB, The Bible in the Life of the Church- Part II: An Historical Survey, dalam Reginald C. Fuller (General Editor), A New Catholic Commentary on Holy Scripture.
                 Bacalah tulisan saya yang berjudul Memahami Firman Allah dalam Kitab Suci (1), tanggal 2 September 2009.
                 Lihat juga Raymond E. Brown SS & Sandra M. Schneiders IHM, HERMENEUTICS, dalam Raymond E. Brown SS, Joseph A. Fitzmyer SJ & Roland E. Murphy O.Carm. (Editors), The New Jerome Biblical Commentary, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, 1990, hal. 1148.
                 Daniel J. Harrington, hal. RG 18.


F.X. Indrapradja, OFS

http://www.karismatikkatolik.org/archived/detailArticle6d0f.html?id=3&id2=10&id3=233

Videos