PRAKTEK KLASIK Lectio Divina -- dalam suasana doa membaca Kitab Suci, yang kita diimani sebagai buku yang memiliki ilham ilahi -- ditemukan kembali dan dibarui pada zaman kita ini. Sementara itu ada beberapa cara praktek Lectio Divina telah bertumbuh hingga membingungkan sehubungan dengan adanya juga Praktek Doa Hening yang sebenarnya berbeda. Beberapa penjelasan tentang perbedaan-perbedaan itu kiranya dapat menolong kita untuk memahaminya.
Pertama, kita harus membedakan antara Lectio Divina dan pelajaran/pendalan Kitab Suci, yang amat berguna di waktu yang lain yang memberikan suatu pengertian yang kuat sebagai latar belakang Lectio Divina.
Kedua, Lectio Divina tidak sama dengan membaca ayat-ayat bagi tujuan perkembangan rohani pribadi, atau menjadi akrab dengan banyak segi yang menyangkut tentang pewahyuan, dan terutama tentang Yesus Kristus, Sabda Allah yang menjelma. Lectio Divina lebih merupakan suatu cara atau rumus untuk menuju sasaran-sasaran itu.
Ketiga, Lectio Divina tidak sama dengan bacaan rohani, yang bergerak melampaui batas pembacaan dari ayat-ayat suci saja, karena mencakup buku-buku rohani yang lain seperti misalnya kehidupan dan tulisan para kudus.
Akhirnya, Lectio Divina tidak sama dengan berdoa menurut Kitab Suci bersama-sama , suatu perkembangan sezaman yang kadang-kadang disamakan dengan Lectio Divina. Praktek klasik Lectio Divina dilakukan secara pribadi dengan mengikuti gerakan Roh Kudus menurut waktu yang diperuntukkan seseorang pada setiap langkah proses, maupun saat beralih dari satu langkah ke langkah yang lain dalam satu waktu doa. Bila mengikuti suatu susunan yang khusus, seperti yang dibutuhkan di dalam semua bentuk doa bersama , ada kecenderungan untuk membatasi secara spontan gerakan Roh Kudus, yang merupakan pusat praktek pelaksanaanya.
Pada umumnya berdoa dengan Kitab Suci dapat dianggap sebagai semacam “Liturgi Lectio Divina” atau lebih tepatnya, sebagai semacam “Liturgi Sabda” yang disharingkan. Dengan beberapa variasi, biasanya berjalan sebagai berikut: Suatu perikop dibacakan dengan lantang tiga atau empat kali, dilanjutkan dengan hening selama dua atau tiga menit. Setelah setiap pembacaan peserta menerapkan imtil diri dalam hati teks itu secara tertentu. Setelah pembacaan pertama kali, mereka menyadari suatu kata atau ungkapan. Setelah pembacaan kedua kali, mereka merenungkan tentang arti atau makna teks. Setelah pembacaan ketiga kali, mereka menanggapi dalam doa spontan. Setelah pembacaan keempat kali, mereka berdiam dengan sederhana dalam hadirat Allah dan setelah hening beberapa saat lamanya, mereka yang bersedia diajak untuk ber-bagi singkat tentang teks itu. Dalam beberapa keadaan ada suatu sharing singkat setelah pembacaan ketiga atau keempat kali dan waktu hening. Berdoa bersama atas Kitab Suci di dalam acara Doa Hening mingguan atau waktu lain terbukti merupakan pengalaman berharga dan suatu peluang untuk mempersatukan para anggota di dalam iman dan kasih.
Praktek klasik Lectio Divina dapat dibagi dalam dua bentuk: monastik (pertapaan) dan skolastik (lebih menekankan penggunakan pikiran). Bentuk skolastik membagi proses atas tahap-tahap atau langkah-langkah dalam pola hirarkis.
Dengan mengikuti bacaan suatu perikop Kitab Suci, langkah pertama adalah mengijinkan suatu kata atau ungkapan untuk muncul dari teks dan memusatkan perhatian kepadanya. Ini dinamakan Lectio. Yang kedua adalah bagian refleksi, merenungkan kata-kata dari ayat suci, dan dinamakan meditatio “meditasi”. Gerakan spontan dari kehendak dalam menganggapi perenungan itu dinamakan oratio, “doa afektif”. Dan ketika perenungan dan dorongan kehendak itu bersatu, orang beralih dari waktu ke waktu kepada suatu keadaan beristirahat di dalam kehadiran Allah, dan itu dinamakan contemplatio “kontemplasi”. Melakukan Lectio Divina secara demikian berkembang di dalam Abad Pertengahan yakni pada awal masa skolastik dengan kecenderungan untuk menggolong-golongkan hidup rohani dan bersandar pada analisa rasional di dalam teologi sampai benar-benar mengesampingkan pengalaman pribadi.
Bentuk monastik dari Lectio Divina merupakan metode lebih tua dan dilakukan oleh Ibu-ibu dan Bapa-bapa Padang Gurun dan di kemudian hari di pertapaan-pertapaan Timur maupun Barat. Bentuknya lebih tertuju kepada doa kontemplatif ketimbang bentuk skolastik, terutama ketika bentuk skolastik berkembang kepada apa yang sekarang kita sebut meditasi diskursif (menggunakan pemikiran) , yang terdiri dari beralih dari satu pikiran kepada pikiran yang lain atau sebagai satu tahap dalam langkah-langkah yang berturutan.
Metode tersebut merupakan suatu cara berdoa yang baik asal tidak berhenti di sana dan gagal untuk beralih kepada doa kontemplatif. Salah satu tujuan Doa Hening adalah untuk menolong orang melepaskan diri dari penggunaan meditasi diskursif melulu , yang menjadi metode utama di abad-abad belakangan ini, bahkan di dalam biara-biara tertutup. Kebanyakan orang kristiani dilatih untuk merenungkan dan memperbanyak tindakan tertentu dari kehendak agar menuju Allah dan orang lalu sulit membayangkan berdoa tanpa melakukan prosedur seperti ini. Karena berdoa menurut Kitab Suci biasanya meliputi meditasi diskursif, wajarlah kalau lebih tepat mengadakan “Liturgi Sabda” semacam itu setelah waktu Doa Hening ketimbang sebelum Doa Hening. Dan lagi, kedua latihan itu janganlah dipadukan karena masing-masing mempunyai keutuhan dan keunikan tersendiri.
Dalam melakukan Lectio Divina dalam praktek di pertapaan, kita mendengarkan bagaimana Allah memanggil kita melalui teks atau ayat tertentu. Dari segi ini tidak ada tahap-tahap, tingkat atau langkah di dalam Lectio Divina, namun ada empat waktu sepanjang perjalanan dalam lingkaran. Semua waktu di dalam lingkaran dipersatukan satu dengan lain dalam pola horisontal yang saling berhubungan dan juga dengan pusat, yang adalah Roh Allah yang berbicara kepada kita melalui ayat di dalam hati kita. Memusatkan perhatian pada salah satu dari empat “waktu” sama dengan berhubungan langsung dengan yang lain. Dalam segi ini, orang dapat mulai berdoa pada “waktu” mana saja sepanjang lingkaran, maupun beralih dengan tenang dari “waktu” yang satu kepada yang lain, menurut dorongan Roh Kudus.
Paulus menulis, “Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu?” (1Kor 3:16). Sekiranya anda tersentuh oleh pertanyaan itu ketika membaca bagian injil hari bersangkutan, daraskanlah sekitar selusinan ayat itu, dan anda merasa terdorong untuk terus menerus merenung-renungkan perkataan-perkataan itu untuk mencecapnya. Para rahib pemula membaca Kitab Suci dengan lantang supaya mereka sungguh mendengarkannya. Setelah itu mereka akan memilih satu ungkapan, atau paling banyak satu kalimat, yang berkesan pada mereka. Mereka akan duduk bersama ungkapan atau kalimat itu tanpa memikirkan tahap-tahap atau mengikuti skema tertentu, namun hanya mendengarkan, mengulang-ulang dengan lambat teks singkat yang sama. Sikap yang siap sedia ini memungkinkan Roh Kudus untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam mendengarkan. Pada waktu mereka mendengarkan, mereka mungkin mendapat kedalaman baru atau suatu makna baru dari teks. Suatu pengrtisn tertentu bisa juga tepat bagi mereka di dalam keadaan hidup tertentu atau daslam peristiwa-peristiwa di hari yang akan datang. Menurut Kitab Suci, Roh berbicara kepada kita setiap hari. “Pada hari ini, sekiranya kamu mendengarkan suaraNya, janganlah keraskan hatimu” (Mzm 95). Para rahib mendengarkan bukan untuk lebih memahami teks, bukan untuk memikirkan atau menganalisanya, namun hanya untuk mendengarnya. Dan mendengarnya tanpa suatu tujuan yang ditetapkan sebelumnya akan apa yang harus mereka perbuat dengan teks itu.
Hal ini sudah merupakan suatu bentuk mendalam dari kesediaan menerima. Mereka yang melakukan Lectio Divina secara ini sudah bergerak menuju “waktu/saat” keempat dari proses dinamis menuju beristirahat di dalam Allah.
Di dalam menanggapi suatu pemahaman baru, mereka bisa dibangkitkan untuk berterima kasih atau dengan dorongan-dorongan cinta, pujian atau syukur di dalam batin. Ketika sikap mendengarkan ini menjadi tetap, mereka bisa mengalami saat-saat doa kontemplatif dalam arti sesungguhnya, di mana mereka hanya hadir di hadapan Allah, atau sengan hening menikmati kehadiran ilahi. Di dalam keadaan ini, perhatiaan seseorang kepada Allah meluas ke dalam kesadaran halus akan kehadiran ilahi. Saat ini, kita menembus selubung cara berpikir kita sendiri. Sabda Allah yang tertulis di dalam Kitab Suci menyadarkan kita akan Sabda Allah yang batiniah di kedalaman diri kita. Apabila kesadaran itu menghilang, kita boleh kembali dan membaca kelanjutan teks, tentu saja bila ada waktu.
Cara pertapaan melakukan Lectio Divina selalu mulai dengan doa kepada Roh Kudus. Keempat waktu sepanjang keadaan lingkaran adalah membaca di dalam hadirat Allah, merenungkan dalam arti mengunyah-ngunyah (bukan dalam arti meditasi diskursif), menanggapi dengan doa spontan, dan beristirahat di dalam Allah di luar akal budi dan prilaku tertentu dari kehendak.
Dengan “mengunyah-ngunyah” saya maksudkan duduk dengan satu kalimat, dengan suatu ungkapan atau bahkan satu kata yang muncul dari teks, dengan mengijinkan Roh Kudus meluaskan kemampuan kita untuk mendengarkan dan membuka diri kita kepada makna yang lebih mendalam, dengan kata lain, meresapkan arti rohani dari suatu perikop Kitab Suci. Hal ini menghantar kepada pengalaman iman akan Kristus yang hidup dan meningkatkan prilaku kasih bagi sesama yang mengalir dari relasi tersebut.
Di kala kita mengulangi ungkapan atau kalimat itu perlahan-lahan, diulang-ulang, suatu pegertian yang lebih dalam akan timbul. Misalnya, ambillah kata-kata Yesus, “Aku tidak menyebutmu hamba, melainkan sahabat.” Secara tiba-tiba, dapat turun pada kita apa artinya menjadi sahabat Yesus. Kesadaran kita meluas tanpa kita berbuat apa-apa selain mengijinkan Roh kudus bekerja. Inilah suatu pertukaran dari hati-ke hati dengan Kristus. Kita beserta teks tapi kita tidak memikirkan teks itu. Bila kita memikirkannya dalam arti bercermin, kita menguasai percakapan. Hal itu dapat dilakukan dengan bermanfaat pada waktu yang lain. Di sini persoalannya adalah tentang menerima dan beristirahat di dalam kehadiran Kristus sebagai sumber perkataan atau ungkapan itu.
Lectio Divina adalah semacam proses istimewa, dan untuk mendapatkan manfaat sepenuhnya dari hasilnya, keutuhannya juga harus dihormati. Buah matang dari praktek latihan teratur Lectio Divina adalah menjadi semakain menyatu atau diresapi oleh sabda Allah. Ini merupakan suatu pergerakan dari percakapan kepada persatuan. Ini juga memampukan kita untuk mengungkapkan pengalaman rohani kita yang mendalam akan persatuan dengan Allah di dalam kata-kata atau lambang-lambang yang tepat dan sesuai dengannya. Maka di sini ada suatu pergerakan bukan hanya untuk masuk ke dalam keheningan, namun juga dari keheningan ke dalam pengungkapan.
Di dalam Tritunggal, Sabda Allah selalu muncul dari keheningan tak terbatas Sang Bapa dan selalu kembali. Pribadi-pribadi di dalam Tritunggal hidup di dalam diri satu sama lain ketimbang di dalam diri masing-masing. Bapa mengenal diriNya hanya di dalam Putera, Putera hanya di dalam Bapa dan Roh Kudus terungkap di dalam persatuan mereka, menyatukannya di dalam Satu hubungan yang kekal nyata. Trinitas adalah landasan bagi kemanunggalan dan keragaman yang kita lihat diungkapkan melalui ciptaan. Melatih Lectio secara ini, orang mengenali kehadiran Sabda Allah di dalam segala ciptaan dan di dalam segala peritiwa, mengalami apa yang ditulis pengarang Injil di dalam prakata , “Tanpa Dia tidak ada sesuatu yang dijadikan.”
Dalam doa kontemplatif, kita bersentuhan dengan sumber segala ciptaan; sebab itu, kita mengangkat diri dan pandangan-pandangan duniawi kita yang terbatas. Sebagai akibatnya, kita merasa satu dengan orang lain dan menikmati perasaan menjadi bagian alam semesta. Kepenuhan keAllahan berdiam secara jasmaniah di dalam diri Yesus, kata Paulus. Keilahian mulai berdiam di dalam diri kita secara jasmaniah sebanding dengan kemampuan kita untuk menerimanya ketika kita bertumbuh di dalam persatuan dengan Sabda Kekal. Proses ini perlu dipupuk baik dengan keheningan batin di dalam doa kontemplatif maupun dikembangkan dengan Lectio Divina (dalam arti mendengarkan). Kesadaran akan hadirat ilahi juga akan mulai mengalir ke dalam kegiatan sehari-hari.
Metode skolastik merupakan suatu cara yang baik untuk belajar Lectio Divina baik secara pribadi maupun di dalam kelompok, namun pada suatu titik tertentu ketika orang telah menangkap suatu gagasan, kita perlu menjelaskan dengan hati-hati metode pertapaan yang sejak awal mula berpusat pada beristirahat di dalam Allah dengan membuat diri kita dalam suatu sikap mendengarkan. Pengaruh timbal balik yang dinamis di antara keempat “waktu” dari pembacaan Lectio, refleksi dalam arti mengunyah suatu kalimat atau kata tertentu, menanggapi di dalam doa, dan beristirahat di dalam Allah membuat diri kita semakin lama semakin siap bagi Roh Kudus.***
Sumber: Contemplative Outreach
a.b. TT
Oleh Thomas Keating